Sabtu, 14 Maret 2009


This My Love



Side Mould

Sebuah Sajak Bisu untuk Cinta



AKU menunggu sejam yang lalu dalam terik suci mentari hingga mengalunnya rintik sunyi hujan di sore itu. Ku denga hingga kun anti kereta senja yang yang datang di ufuk timur tiba. Aku pun tak tahu siapa dan mengapa diriku berada disini dalam keheningan siluet senjamu. Dalam ruang- ruang dimensi atau wujud tiada hendaki cinta bernaung dalam gelora asmara di setiap jiwa anak cucu Adam diciptakan.

Genderang hati ini bertabuh dengan simfoni haru pilu, lalu hancurkan puing-puing hati biru kelabu. Wujud dentuman ornament melirih kian menderu, sendu, dalam tangisan nian syahdu.

Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkan asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru dilangit Lazuard.

Menatap indah cakrawala penuh harapan dan cinta dibalik Gunung Fujiyama hanya bersama sosok indahmu. Kutorehkan namamu dalam bunga hati Edelwiss, lalu ku lukis cantiknya parasmu dalam beribu ratapan sajak-sajak pelangi. Terpecik kata-kata mimpi, bersungging senyum dewi-dewi cinta. “Akankah kau pergi tinggalkan diriku sehingga kau nanti kembali dalam ruang dan dimensi yang lain?” tanyaku. “ Mungkin biarkan cinta bersemi dalam keabadian seiring ilusi waktu,” sahut Rose seraya menatap pilu. Sontak aku terpana dan bergemuruh dalam ingar-bingar cintamu.

“Jangan engkau biarkan cinta bersemi dalm ilusi waktu,”pintaku. “Mengapa? “sahutnya seraya memegang tanganku dalam indahnya cakrawala sore itu.

“Karna waktu kian sirna terhempas dan tersungkur hingga tercabik prahara kenistaan,”ujarku.

“Lalu harus dengan apa kubuktikan karena kusungguh mencintaimu dan cintaku tak bersayap seakan malaikat malu menatap keabadian cinta kita,”pinta Rose penuh kebimbangan.

“Biarlah cinta turun bagai setetes embun dari beribu pelangi yang hiasi kehidupan cinta,”ujarku singkat.

Kuempaskan kata bertakhta retorika itu dalam ruangan dimensi lain hingga waktu kian sirna dan musnah tersungkur luka. Tercabik prahara dusta, lalu tecekam badai durjana yang tak kunjung reda. Angina-angin sunyi mendendangkan ornamen cinta buatku nian pilu.

“Apa kau tahu, mengapa ombak datang menggema mengikis jiwa-jiwa yang hampa dan badai menyeruak luluh lantak, lalu memorak-porandakan raga-raga tak berdosa dalam seluet senjamu,” ungkapku masih bimbang.

Kupilih waktu tuk beranjak diam dalam heningnya malam dan galaunya hati,mengpa Tuhan kini tak kunjung bantu diriku.

Sang waktu terbungkam prahara kenistaan. Kini pujaan tinggal kenangan dan harapan adalah bualan. Ku hapus cinta setahap demi satahap,namun tak berarti. Kepedihan yang kian kurasa seolah kini tesingkir luka lebam tersedu sedan dalam angan. Namun,kini engkau hadir dan berikan puing-puing cinta dalam tutur lembutmu.

Kereta senja menanti tiap hela nafasku, bergulir seiring terhempasnya pujaan kedalam retorika ilusi fatamorgana yang kini hanya tinggal kenagan. Sebuah cinta,hanya sebuah nama dihati. Bulan pelita gundah gelisah dijawa sehingga kutermayun mimpi-mimpi dalam ingar-bingar ilusi. Kisah cintaku penuh penantian kata,dalam sorot sinarnya mulai sayup terangi bekunya hati ini. Pesonanya pahit untuk diterjang seakan tercabik sebilah parang yang tajam dan kejam. “Mungkinkah sedihku kian meratapi dan menggaru biru kelabu?” ungkapku dalam ringkihan kebisuan.

Kereta senja menanti tiap hela napasku,kumeratap malu lalu embuskan ayat-ayat cinta dalam napas terakhiku. Biarlah cinta seajati besemi dihati, walau mata terbuka dan tertutup, cintaku kian abadi.

“Kuhapus air mata dalam duka, Kupejamkan mata dalam duka, Kuempaskan raga dalam elegi cintamu, dan Kurentangkan jiwa dalm sukma keabadian...”

Harusnya kutahu ,cinta kian turun seiring gemuruh hujan. Sosok dewi cinta bedendang alunan simfoni indah sepanjang masa. Cinta tak mengenal perubahan karena perubahan itu merupakan perjanjian. Sayang,cinta tak mengenal pejanjian.

Kuharap kedamaian dari egomu memberikan sekelumit janji yang lebih indah diungkapkan dalam kebisuan. Berinu kata kian menjerit tuk diucapkan atau memang selalu ada hal indah yang terlupakan dan seharusnya lenyap terbakar egomu…(*)




Selasa, 03 Maret 2009